Istilah jurnalistik diambil dari kata journal yang berarti catatan harian atau surat kabar. Orang yang melakukan kegiatan jurnal itu disebut jurnalis, yang asal katanya diambil dari bahasa Latin diurnalis. Dengan kata lain, jurnalistik dapat didefinisikan sebagai kegiatan mencatat atau membuat laporan harian. Sementara, jurnalisme mengacu pada profesi orang yang melakukan kegiatan jurnalistik, idealnya adalah untuk mengumpulkan informasi dan menyampaikan kebenaran kepada khalayak lewat pers atau media massa.
Sebagai salah satu bidang dari ilmu komunikasi, jurnalisme ikut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang seolah tak pernah berhenti. Bahkan, jurnalisme itu sendiri sebenarnya selalu dibentuk oleh teknologi. Sejak zaman Julius Caesar, proses penyebaran dan penerimaan informasi dari satu orang ke orang yang lain; dari rakyat kepada raja atau dari raja kepada rakyat selalu bergantung dengan teknologi yang ada. Penemuan-penemuan seperti mesin ketik oleh Gutenberg dan telepon oleh Alexander Graham Bell pad akhirnya menjadi titik tolak teknologi yang mengubah cara jurnalisme bekerja.
Dalam sepuluh tahun, media-media terus berganti, dari media konvensional menjadi digital. Dari koran menjadi radio, lalu menjadi TV, komputer dan seterusnya. Namun hal yang akan dibahas dan terlihat paling banyak berubah adalah dalam bidang pengumpulan berita dan reportase. Hal ini terlihat dalam penyebaran informasi tentang peristiwa besar di seluruh dunia yang telah terjadi. Pada tahun 1999, dimana handphone belum ditemukan dan teknologi blog belum ada, berita-berita disebarkan lewat radio, televisi, dan koran. Pada tahun ini di tanggal 30 Agustus, peristiwa besar yang terjadi adalah merdekanya Timor Timur dari Indonesia. Berita tentang peristiwa itu dapat diketahui oleh dunia hanya dari koresponden (orang yang berkomunikasi dengan mengirimkan surat) asing yang ada di Indonesia pada saat itu, yang kemudian disebarkan lewat media-media konvensional yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, berita itu dipenuhi oleh ketidakpastian atau ketidakjelasan. Tidak ada sumber dan footage yang pasti, sehingga dunia terlambat menyadari betapa seriusnya krisis yang terjadi di sana pada saat itu.
Ketika dunia memasuki abad ke-21, teknologi digital dimulai. Bagi jurnalisme, menerbitkan berita secara digital bukan hanya berarti meletakkan hasil pengumpulan informasi mereka dalam website. Teknologi telah mengubah jurnalisme itu sendiri. Walaupun tujuan ideal jurnalisme tetap sama—yaitu untuk menyebarkan informasi yang mengandung kebenaran, hampir semua aspek lain akan berubah; bagaimana informasi mereka sampai kepada khalayak, alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, hubungan mereka dengan orang-orang yang mengakses hasil tulisan mereka, dan kompetitor mereka. Seiring dengan perkembangan teknologi, aspek-aspek itu akan terus berubah, mau atau tidak mau, disadari atau tidak disadari.
Bagaimana informasi mereka akan sampai kepada khalayak di era digital ini bukan hanya tentang penggunaan web untuk mempublikasikan jurnal. Web hanyalah satu dari sekian banyak alternatif digital yang dapat dipilih jurnalis untuk menyebarkan berita. Adanya e-books, handphone, PDA seperti Palm Pilots dapat turut diperhitungkan. Karena sekarang ini definisi koran bukan lagi sesuatu yang berbentuk kertas yang besar, karena orang bahkan sekarang bisa membaca koran dari handphone yang layarnya lebih kecil dan lebih mudah untuk dibawa kemana-mana tanpa perlu digulung atau dilipat. Begitu pula dengan televisi yang bisa ditonton kapan saja asalkan ada layar handphone dan koneksi internet. Dan, tentu saja ini akan berubah lagi, dan berubah terus, sehingga penting bagi jurnalis yang ingin sukses untuk terus memperhatikan perkembangan teknologi dalam menyampaikan beritanya.
Alat yang digunakan oleh jurnalisme dalam melakukan pekerjannya juga berhubungan erat dengan perkembangan teknologi. Sekarang, tampaknya alat yang dibutuhkan oleh jurnalis dalam menyebarkan beritanya hanya kamera, kabel penghubung ke laptop, dan koneksi internet. Pada zaman media konvensional, banyak jurnalis protes karena merasa “overworked” dalam pekerjaannya. Argumen itu tidak lagi berpengaruh sekarang karena semuanya dapat dilakukan dengan mudah. Bahkan peralatan yang dulu membutuhkan tenaga lebih untuk membawanya, (seperti kamera yang besar, kotak, dan berat) dapat dibawa di dalam kantong. Alat perekam juga ukurannya mengecil walau dengan fitur yang lebih canggih.
Seiring berjalannya waktu, pada kejadian lainnya, yaitu tsunami Aceh di tahun 2004. Dengan teknologi internet yang telah muncul, ketidakjelasan informasi itu dapat sedikit diatasi. Namun pada awalnya, karena masyarakat belum terlalu akrab dengan internet, kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi tetap ada ketika berita ini dibawa pada kancah internasional. Berita yang muncul lewat radio dan website-website terlambat muncul, dan dipenuhi gambar dan video amatir yang di-upload ke internet. Skala penuh dari kerusakan yang terjadi akibat bencana itu membutuhkan waktu lebih dari 36 jam untuk menyebar ke Negara-negara asing, namun media di sini sudah dapat menyajikannya lebih cepat dari sebelumnya, menandakan perubahan teknologi yang membantu mereka menyebarkan informasi tersebut.
Sekarang, teknologi yang ada sudah sedemikian canggih hingga berita tentang pemilihan umum di Amerika atau pernikahan Pangeran William di Inggris bahkan bisa diakses di belahan dunia manapun dengan waktu yang sama cepatnya, antara lain lewat radio, televisi, website, handphone dan media sosial. Berita yang disajikan pun sudah berupa data yang mendetail disertai foto dan video, serta sumber-sumber yang jelas. Munculnya “citizen journalism” juga mempercepat penyebaran informasi itu, karena seseorang tidak perlu lagi mendalami profesi jurnalisme untuk meliput dan menyebarkan berita. Yang ia butuhkan hanya telepon genggam yang memiliki fitur kamera dan koneksi internet—dan akun di media online.
Internet memang merupakan inovasi teknologi yang sampai sekarang masih sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu komunikasi, atau dalam bidang jurnalisme yang kita bicarakan saat ini. Internet dan e-mail telah mengubah proses newsgathering di seluruh dunia menjadi sebuah ‘jurnalisme modern’. Dapat dilihat dari banyaknya sekelompok editor di seluruh dunia yang tadinya bergantung pada Negara lain (con: Afrika Selatan) dan pemerintahnya (ex: Arab), menjadi independen dengan menggunakan koneksi internet mereka sendiri. Dalam beberapa tahun, dapat diperkirakan bahwa tidak akan ada lagi pemerintah otoriter yang dapat mencegah rakyatnya dari menerima informasi, karena di era ini, informasi merupakan sesuatu yang makin cepat menyebar dan mudah diakses.
Sekarang ini, tampaknya masih ada beberapa jurnalis ‘kolot’ yang menolak untuk mengikuti perkembangan teknologi—atau lebih tepat disebut, tidak bisa mengikutinya. Padahal jika dilihat dari segi keuntungan pun, jurnalisme dengan menggunakan media digital memerlukan biaya produksi yang lebih sedikit namun mendapatkan keuntungan yang lebih banyak karena lebih tepat sasaran yaitu konsumen yang diinginkan. Walaupun perubahan dalam bidang teknologi banyak terjadi dan mengakibatkan perubahan dalam bidang jurnalistik, para jurnalis seharusnya tidak mengalami banyak masalah dalam menyesuaikan diri dengan semua itu, karena, pada akhirnya, tujuan mereka mencari dan menyebarkan berita masih sama; untuk menyampaikan informasi dan kebenaran itu pada khalayak tepat pada waktunya. Jurnalis yang terus memperhatikan apa yang sebenarnya diinginkan dan dibutuhkan oleh khalayak akan dapat dengan mudah melaju melalui perkembangan - perkembangan zaman dan perubahan teknologi yang ada di dalamnya.
Referensi : www.anneahira.com www.theaustralian.com.au, www.nieman.harvard.edu, www.tandfonline.com
ADS HERE !!!